Belenggu Kehidupan Keluarga Pramoedya di Balik 'Bumi Manusia'

Belenggu Kehidupan Keluarga Pramoedya di Balik 'Bumi Manusia'
Momen Pramoedya Ananta Toer pulang ke rumah setelah 14 tahun pengasingan di Pulau Buru. (Dok. Pribadi Pramoedya Ananta Toer)

Kepri, Forumpublik.com -- Tatapan tajam terpancar dari sorot mata Astuti Ananta Toer, putri sulung sastrawan Pramoedya dengan Maemunah Thamrin, kala mengingat hari-hari berat selama sang ayah jauh dari rumah, diasingkan ke Pulau Buru.

Titiek -sapaan Astuti- ingat betul pahit dirinya menjalani hidup bertahan dari berbagai ancaman yang datang nyaris tiap hari saat itu, kala ayahnya jadi tahanan politik Orde Baru dan dibuang ke Pulau Buru, Maluku.

"Kadang kalau kami sedang kumpul, ada omongan yang enggak enak, 'pistol sudah di sini'," ungkapnya sambil menunjuk pelipis dengan jari membentuk simbol pistol.

"Ada yang datang tiba-tiba," lanjutnya.

Belum lagi, tutur Titiek, kedatangan orang-orang berseragam militer yang kerap meminta uang pada sang ibu, Maemunah. Jika tidak, salah satu dari mereka diancam akan dibawa.

"Itu kalau dari jauh sudah melihat ada orang pakai baju hijau datang, anaknya digulung dalam kasur zaman dulu, yang tipis, ada yang di kolong tempat tidur, di lemari, kalau tidak diambil anaknya," katanya.

"Itu yang bapak tidak pernah tahu, seram banget ya, kayak begitu," lanjutnya sambil bergidik.

Teror bukan hanya datang di rumah. Di sekolah, anak-anak Pram juga mendapatkan diskriminasi. Bahkan perlakuan itu datang dari guru yang mestinya menjadi orang tua kedua bagi anak di sekolah.

"Dulu Yudhis [putra bungsu Pram] ditanya, 'Heh kamu anaknya Pramoedya ya?' terus rambutnya dijambak, sambil diputarin di halaman sekolah," kata Titiek.

"Saya juga baru tahu baru-baru ini. Itu disimpan dia sendiri, karena kami tidak mau saling menyakiti," ujarnya. Ketiga mereka tumbuh dewasa, barulah saling membuka pengalaman masing-masing.

Namun bagi Titiek segala teror itu belum seberapa dibanding ketika ia menjenguk ayahnya di Pulau Buru. Di depan matanya sendiri, Titiek melihat ayahnya babak belur.

Titiek ingat bibir ayahnya sobek. Kuping sang sastrawan maestro Indonesia pun berdarah. Namun Pramoedya selalu berkelit ketika Titiek menanyakan penyebab babak belur itu.

Kecurigaan Titiek menjadi menakutkan kala suatu kali ia melihat para tahanan ditendang dengan sepatu tentara yang keras nan tebal.

"Bak buk bak buk, saya jadi kayak orang trauma kalau diajak ke sana. Tidak pernah mau lagi," kata Titiek.

Pramoedya Ananta Toer dan keluarga. (Dok. Pribadi Pramoedya Ananta Toer)

Ditodong Senjata

Pandangan Titiek semakin menerawang, tenggelam dalam ingatan yang lebih dalam akan sosok ayahnya.

Ia teringat, dirinya rela mendobrak ketakutan melihat penyiksaan militer hingga ditodong senjata oleh penjaga demi sang ayah, Pramoedya.

Titiek pernah suatu kali mengecek kegiatan Pramoedya yang tengah dipaksa kerja oleh penjaga. Bermodal info dari papan jadwal, Titiek mencari ayahnya yang sudah amat ia rindukan.

Ia memang bertemu ayahnya. Namun hatinya hancur melihat kondisi sang sastrawan kala itu: lunglai tak berdaya.

Titiek refleks mendekat. "Pi, papi, papi haus ya?" kata Titiek kepada Pram. Titiek tak sadar, senjata penjaga sudah teracung mengerikan kepadanya karena dianggap melanggar aturan.

Tangis Titiek pecah. "Ayahanda, ayahanda ini aku anakmu, papa haus ya?" teriak Titiek berusaha meyakinkan ayahnya yang sudah lemah bekerja keras.

Tangisan Titiek pun membuat tentara menurunkan senjata. Ia dibantu sejumlah orang yang iba untuk bisa mendekati Pram.

"Pak, anaknya tuh pak, bawakan minum," kata orang yang membantu Titiek mendekat ke Pram. Titiek pun memberikan minum kepada ayahnya yang lunglai di usia yang sudah kepala empat.

"Sudah nduk, sudah nduk, Papa sudah hilang hausnya," kata Pram, lemah.

"Ini aku bawa makanan," kata Titiek, masih berusaha menguasai emosi.

"Enggak, Papa enggak lapar," kata Pram.

Jalan yang dahulu kala dibuat oleh Pramoedya Ananta Toer dan para Tapol unit 3 lainnya. Waeapo, Pulau Buru, Ambon, Minggu, 6 Maret 2016. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Surat Pelipur Lara

Kini, Titiek tersenyum mengenang momen mengharukan itu, meski tak seutuhnya jelas ingat kapan itu terjadi.

Namun, pengalaman terpisah dari Pram yang dibawa ke Pulau Buru jelas menjadi yang paling berkesan dan penuh kerinduan.

Pram dijemput paksa oleh Angkatan Darat di rumahnya di Rawamangun pada 13 Oktober 1965. Empat tahun setelahnya, 16 Agustus 1969, ia dipindahkan ke Pulau Buru bersama 800 tahanan politik lain hingga 21 Desember 1979.

Selama masa itu, Pram dilarang menulis buku. Ia beserta tahanan lain dituntut untuk melakukan kerja paksa di sana. Sementara keluarganya, hidup dalam ancaman tanpa Pram di sisi mereka. Hanya surat sebagai pelipur lara dan kerinduan.

"Kami itu sekeluarga diwajibkan menulis surat untuk bapak, karena satu-satunya hiburan itu hanya membuat surat," kata Titiek.

"Dan satu-satunya dorongan untuk Pram bertahan hidup di sana adalah keluarga. Itu yang membuatnya kuat,"

Titiek mengaku kerap memberikan perintah kepada adik-adiknya untuk tidak memberikan kabar yang membuat orang tuanya sedih dalam surat itu.

Bahkan, hingga Pram dan Maemunah berpulang, Titiek dan adik-adiknya tak pernah memberitahukan siapa saja yang pernah mengancam dan meneror hidup mereka kepada orang tuanya.

Isi surat yang ditulis anak-anak Pram memang lebih bercerita soal kegiatan sekolah, kehidupan sehari-hari, atau sekadar menanyakan kabar sang ayah.

Namun, dalam surat itu juga terselip doa, kerinduan, serta keinginan yang tak terbendung untuk segera berkumpul. Kisah haru dan lucu pun ikut andil.

Ananda Rita misalnya. Pada 12 September 1973, ia menuliskan, "Papa, Rita sehat, papa mungkin juga. Di sana tanaman subur-subur, tadi Rita lagi di Batu Tulis melihat papa di TV lagi macul. Papa gemuk deh, Rita senang."

Dalam surat itu, ia juga menyampaikan agar ayahnya tidak perlu pusing-pusing memikirkan kondisi rumah sekaligus mencurahkan tingkah adik laki-lakinya, Yudhistira, yang susah makan.

"Yudi jarang makan, habis jajan melulu jadi tidak mau makan," tulis Rita.


Belenggu Keluarga Pramoedya

Sementara Tatiana, pada salah satu suratnya mencurahkan keinginan hidup normal, layaknya anak lain yang dapat bercengkerama dengan ayah mereka.

"Papa, Ijan [Panggilan Tatiana] sudah masuk SMP perguruan Rakjat, diabsen guru agama tanya soal anak Ananta Toer. Ijan banyak ulangan bulan ini mudah-mudahan nilai bagus. Selalu berdoa papa cepat pulang, biar kita bisa kumpul kembali," tulisnya di awal surat.

"Ijan kalau melihat anak ketjil dibawa jalan-jalan oleh ayahnya, Ijan sangat iri padanja," tulis Ijan pada surat yang tertanggal 24 Februari 1976.

Ada sekitar 20 pucuk surat seukuran kartu pos yang sempat dipajang dalam sebuah pameran yang berlangsung pada April hingga Juni 2018.

Surat memang jadi satu-satunya obat rindu Pram dan keluarganya. Namun mereka pun harus menunggu setahun untuk bisa saling berbalas surat.

"Terima kasih tak terhingga untuk ajahanda, bukan saja dalam kata-kata tapi juga dalam bathin atas kiriman surat ajahanda tanggal 21 Mei 1976 sampai 15 Maret 1977, hampir setahun," tulis Titiek dalam surat tertanggal 23 Maret 1977.

Surat dari Pram sendiri, kata Titiek, lebih berisi perkembangan dan kejadian di tahanan. Namun itu pun yang biasa-biasa saja, katanya.

"Kadang dia bicara bahwa, 'papa sudah menulis buku, mungkin ini yang akan menjadi masterpiece-nya papa, mungkin ini akan kuberikan pada kau'," kenang Titiek sembari duduk di sebuah kursi rotan dan menyeruput teh hangat.

Saat mengirimkan surat, menurut Titiek, sang ibu biasanya turut menitipkan makanan, pakaian, serta obat-obatan. Namun, semua berakhir mengenaskan.

"Kalau mau Lebaran, anak-anak bikin rendang, sekalian obat-obatan dan baju. Terus setelah sampai sana, baju, rendang, obat-obatan jadi satu. Entah sengaja atau tidak, itu diaduk-aduk jadi satu," kata Titiek.

Potret Pramoedya Ananta Toer bersama sang istri, Maemunah Thamrin. (Dok. Pribadi Pramoedya Ananta Toer)

Terbebas dari Belenggu

Pram dinyatakan bebas tanpa proses pengadilan dan tidak bersalah pada November 1979. Dia dibebaskan dari Pulau Buru pada 21 Desember 1979 dan langsung pulang ke rumah yang dibangun Maemunah di Utan Kayu, Jakarta Timur.

Satu tahun setelahnya, Pram merilis buku pertama Tetralogi Buru, Bumi Manusia yang ia tulis dalam kertas semen selama berada di pengasingan. Selepas itu, hidup Pram dan keluarga pun tak sepenuhnya dapat bernafas lega.

Novel Pram dilarang karena dituduh menyebarkan pemikiran Marxisme-Leinisme serta Komunisme. Hal itu pun lagi-lagi berdampak pada anak-anak Pram.

"Teraniaya berat, saya dari SD teraniaya terus, dikucilkan. Setiap sekolah dikatain 'PKI PKI.' Begitu dewasa enggak boleh berteman sama tetangga. Sampai mau ditembak," ungkap Setyaning Rakyat, putri ketiga Pram, sambil terisak menahan tangis mengenang tekanan yang dialami sejak masa kecilnya, kepada CNNIndonesia.com pada kesempatan terpisah.

Hal senada juga disampaikan Titiek. Menurutnya, selama ini mereka hidup dalam belenggu. Kini belenggu itu terlepas.

"Tidur pun di sebelahnya ada senjata. Pram itu hidupnya tidak pernah tenang. Karena dia diumur 50 tahun saja, sepertiga umurnya habis di penjara. Dia juga enggak tahu sebenarnya hidupnya di mana, zaman ini ditangkap, itu ditangkap," katanya.

Keluarga Pramoedya Ananta Toer dari kiri ke kanan:
Angga (cucu Pram), Rova (cucu Pram), Arina nak Pra(am), Setyaning (anak Pram),
Tatiana (anak Pram) dan Astuti (anak Pram), saat menyaksikan 'Bumi Manusia'. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri)

"Dan kami, diancam macam-macam. 'Kalau Pram begini, kamu kakinya saya buntungin.' Sering begitu-begitu," kata Titiek.

Namun akhirnya, kini mereka mengaku bisa mencecap manisnya hidup saat menyaksikan perayaan sosok Pram lewat perilisan dua film yang diadaptasi dari karya sang ayah, Perburuan dan Bumi Manusia.

Kedua film itu dijadwalkan tayang bersamaan pada 15 Agustus 2019.

"Terharu sedih, ih luar biasa ingin menangis saya. InshaAllah, semoga sukses, dan Alhamdulillah senang. Sedihnya hanya karena papa enggak bisa liat ini," kata Setyaning saat momen perilisan Bumi Manusia.

Usai menonton film beberapa kali, Titiek mengatakan bahwa ia pun begitu bergembira. Air mata haru tak bisa lagi dibendungnya kala akhirnya melihat karya Pram dirayakan.

"Saya senang sekali, kan dulu-dulunya belum pernah, bukan belum pernah tapi selama saya besar, selama saya dewasa, saya belum pernah menyaksikan film-film dari karyanya Pram. Jadi saya baru kali ini melihat, dan saya juga berpikir gimana ya, sudah deh begitu saja," ungkap Titiek, kehabisan kata-kata.

Baca Juga:
Sejarah: 30 Tahun Ada, Festival Lembah Baliem Baru Didatangi Menteri
Berikut 6 Objek Wisata Indah di Sekeliling Pulau Samosir
Berpisah, Liam Hemsworth Berharap Miley Cyrus Bahagia
Pandangan dari Panatapan Huta Ginjang, Danau Toba bak Rasa Swiss
Oleh Mantan Istri 'Amber Heard' Johnny Depp Sebut Pernah Disundut Rokok
(Cnn/B Bs)

0 comments:

Post a Comment