Berkurangnya Area Hutan Primer dan Sekunder Picu Banjir Terbesar Banjir di Kalsel

Berkurangnya Area Hutan Primer dan Sekunder Picu Banjir Terbesar Banjir di Kalsel
Warga menggendong anaknya melintasi banjir di Desa Kampung Melayu, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Jumat (15/01). Banjir ini digambarkan sebagai banjir terbesar yang melanda provinsi tersebut. (Foto: Antara)

KALIMANTAN SELATAN - Forumpublik.com | Dampak dari Banjir besar yang terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel) bahwa Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat tambahan korban meninggal akibat banjir di 10 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan jadi 15 orang. Sebanyak 39.549 warga terpaksa mengungsi akibat kejadian tersebut.

Data terakhir dihimpun oleh BNPB pada Minggu (17/1). BNPB melaporkan sebanyak 15 orang dari berbagai lokasi meninggal dunia akibat banjir tersebut.

Berkurangnya hutan primer dan sekunder yang terjadi dalam rentang 10 tahun terakhir disebut menjadi penyebab terjadinya banjir terbesar di Kalsel, menurut tim tanggap darurat bencana di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

Karena itu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak pemerintah untuk mengevaluasi seluruh pemberian izin tambang dan perkebunan sawit di provinsi itu lantaran menjadi pemicu degradasai hutan secara masif.

Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Selatan menjanjikan bakal melakukan audit secara komprehensif terkait penggunaan lahan di sana agar bencana serupa tidak terulang.

Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh di LAPAN, Rokhis Khomarudin, menjelaskan antara tahun 2010 hingga 2020 terjadi penurunan luas hutan primer sebesar 13.000 hektare, hutan sekunder 116.000 hektare, sawah dan semak belukar masing-masing 146.000 hektare dan 47.000 hektare.

Sebaliknya, kata Rokhis, area perkebunan meluas "cukup signifikan" 219.000 hektare.

Kondisi tersebut, ia melanjutkan, "memungkinkan terjadinya banjir" di Kalimantan Selatan, apalagi curah hujan pada 12 hingga 13 Januari 2020 sangat lebat berdasarkan pantauan satelit Himawari 8 yang diterima stasiun di Jakarta.

"Ya itu analisis kami, makanya disebutkan kemungkinan. Kalau dari hujan berhari-hari dan curah hujan yang besar sehingga perlu analisis pemodelan yang memperlihatkan apakah pengaruh penutup lahan berpengaruh signifikan," ujar Rokhis kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (17/01).

Data yang ia pegang menunjukkan total area perkebunan di sepanjang Daerah Sungai (DAS) Barito kini mencapai 650.000 hektare.

Jika dibandingkan dengan luasan hutan di sekitar DAS yang mencapai 4,5 juta hektare, maka perkebunan telah menghabiskan 12 hingga 14% dari keseluruhan area.

Kendati area hutan masih mendominasi, tapi Rokhis berharap tidak terus tergerus. Sebab kajian BNPB menyebutkan Kalimantan Selatan termasuk daerah yang berisiko terhadap bencana banjir.
Berkurangnya Area Hutan Primer dan Sekunder Picu Banjir Terbesar Banjir di Kalsel
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan sebanyak 67.842 jiwa terdampak banjir di sejumlah wilayah di Kalsel. (Foto: Antara)

"Kita paham bahwa perkebunan itu berhubungan dengan ekonomi, tapi harus diperhatikan unsur lingkungannya," imbuh Rokhis.

Pantauan LAPAN setidaknya ada 13 kabupaten dan kota yang terdampak banjir, tujuh di antaranya luas genangan banjir mencapai 10.000 sampai 60.000 hektare.

"Kabupaten Barito luas genangan 60.000 hektare, Kabupaten Banjar 40.000 hektare, Kabupaten Tanah Laut sekitar 29.000 hektare, Kabupaten Hulu Sungai Tengah kira-kira 12.000 hektare, Kabupaten Hulu Sungai Selatan mencapai 11.000 hektare, dan Kabupaten Tapin 11.000 hektare."

Evaluasi Izin Perkebunan Sawit dan Perkebunan

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, mencatat 50% dari lahan di Kalimantan Selatan telah beralih fungsi menjadi tambang batubara dan perkebunan sawit.

"Tambang 33%, sawit 17%," ujar Kiworo kepada BBC News Indonesia.

Merujuk pada kondisi itu, ia mengaku telah berulang kali memperingatkan bahwa provinsi tersebut dalam kondisi darurat bencana ekologis dan konflik agraria lantaran mayoritas pemilik tambang maupun sawit adalah perusahaan skala besar.

Oleh karena itu, ia tak kaget jika bencana ekologis itu terjadi saat ini dan yang "terparah dari tahun-tahun sebelumnya".

"Banjir besar pernah terjadi tahun 2006 tapi tidak sampai merendam 13 kabupaten dan kota. Ini yang terbesar. Kalau hujan, banjir setiap tahun kalau kemarau kebakaran lahan."

Oleh sebab itu, ia mendesak pemerintah untuk mengevaluasi secara menyeluruh izin-izin yang dikeluarkan. Sebab ia meyakini "alih fungsi lahan tersebut menyebabkan degradasi hutan".
Berkurangnya Area Hutan Primer dan Sekunder Picu Banjir Terbesar Banjir di Kalsel
Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh di LAPAN, Rokhis Khomarudin, mengatakan antara 2010 hingga 2020 terjadi penurunan luas hutan primer sebesar 13.000 hektare, hutan sekunder 116.000 hektare, sawah dan semak belukar masing-masing 146.000 hektare dan 47.000 hektare. (Foto: Antara)

Jika dalam audit ada operasi tambang maupun perusahaan sawit yang dianggap memicu bencana, maka ia berharap pemerintah berani mencabut izin tersebut.

"Misalnya izin ini dicabut, yang ini digugat, ini izin masih diperlukan. Meskipun kalau Walhi minta cabut semua. Tapi kebijakan pemerintah kan tidak bisa sampai ke sana. Nah evaluasi itu inginnya melibatkan masyarakat sipil jangan hanya konsultan."

"Dan di-share hasil dan kesimpulannya."

"Karena dampak lingkungan ini sampai ke anak cucu. Kalau hanya denda pasti mereka (perusahaan) sanggup membayar. Kalaupun ditutup bisa bikin perusahaan baru."

Selain bertindak tegas pada perusahaan, Walhi juga meminta pemerintah daerah meninjau Kembali aturan Rancangan Tata Ruang dan Wilayah Kalimantan Selatan.

Tanggapan Pemerintah

Sekretaris Daerah Kalimantan Selatan, Roy Rizali Anwar, menjanjikan bakal melakukan evaluasi terhadap penggunaan lahan di provinsinya untuk mengetahui penyebab banjir terbesar ini dalam waktu dekat.

Namun begitu, ia tidak memberikan target kapan evaluasi itu selesai.

"Kami akan kaji secara komprehensif apa penyebabnya sehingga tidak terulang. Karena yang terdampak sangat luas hamper 2,6 juta hektare. Kita kaji dari sisi penggunaan lahan, aliran sungai, permukiman," ujar Roy Rizali Anwar kepada BBC News Indonesia.

Sejauh ini, pemprov terkendala dalam mengevakuasi dan menyelurkan bantuan kepada warga yang paling terdampak banjir yakni di Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Tengah, dan Kabupaten Tanah Laut. Pasalnya dua jalan nasional terputus.

Karena itu pada Minggu (17/01/2021), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengerahkan satu helikopter bantuan.

Sementara itu korban meninggal tercatat 16 orang dan ratusan ribu orang mengungsi.

Roy mengatakan pihaknya berusaha tetap menerapkan protokol Kesehatan di lokasi pengungsian mengingat kondisi pandemic COVID-19.

"Yang pasti karena masih pandemi kami libatkan satgas uuntuk memastikan protokol kesehatan di pengungsian berjalan."
Berkurangnya Area Hutan Primer dan Sekunder Picu Banjir Terbesar Banjir di Kalsel
Warga menyelamatkan barang dari rumah yang terendam banjir di Desa Banua Raya di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Senin (11/01). (Foto: Antara)

'Ini Banjir Terparah Sepanjang Hidup Saya'

Kepala Desa Sungai Batang, Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Muhamad Asfi, mengatakan seribuan orang telah diungsikan ke sejumlah rumah kerabat, masjid, dan stadion di Kecamatan Martapura Kota.

Mereka yang prioritas mengungsi yakni lansia dan anak-anak. Sementara beberapa pemuda masih berada di rumah untuk menjaga harta benda.

Asfi bercerita, sepanjang ia tinggal di Kalimantan Selatan bencana banjir tahun ini menjadi yang terparah. Kalau saban tahun banjir merendam persawahan warga, kini termasuk rumah dengan ketinggian hampir satu meter.

"Ini banjir terparah dalam hidup saya," kata Asfi kepada BBC News Indonesia. "Pada hari pertama banjir, kita angkut warga pakai truk. Tapi karena banjir semakin tinggi pakai perahu klotok."

Kata dia, Sungai Martapura yang dekat dengan desanya sudah bertahun-tahun tidak dikeruk sehingga tak sanggup menampung deras air hujan dari hulu.

"Karena sungai-sungai itu dangkal, jadi ke lautnya lambat."

Hingga kini, bantuan makanan dan pakaian sudah dibagikan kepada para pengungsi. Tapi ia memperkirakan makanan berupa beras hanya bertahan dua hari sementara banjir akan surut dalam beberapa hari mendatang.

Karena itu ia berharap pemprov segera mendistribusikan bantuan tambahan. Termasuk pula, popok untuk anak-anak dan bayi.

"Bantuan agar diperbanyak. Karena banjir masih satu mingguan, soalnya banjir lama surut."

Di lokasi pengungsian, lanjut Asfi, tak ada pembatas untuk menghindari penularan virus corona. Sebab tempatnya yang terlalu kecil untuk menampung banyak orang.

"Kami enggak ada jarak lagi. Selamat saja sudah mending, jaga-jaga jarak sudah enggak ada lagi," kata Asfi.


Lihat juga:
Kementerian PUPR Bangun Jembatan Sei Alalak: Tipe Cable Stayed Lengkung Pertama di Indonesia
Menperin: Vaksinasi Kunci Pendorong Bidik Pertumbuhan Industri 4 Persen
Menlu Retno Marsudi Pimpin Kerja Sama Vaksin Multilateral COVAX-AMC EG
Vaksinasi COVID-19 Perdana, Jokowi: Akan Dilakukan Di Seluruh Tanah Air
BI: Kegiatan Dunia Usaha Triwulan IV 2020 Membaik




0 comments:

Post a Comment