Nasa Temukan Penyebab Termosfer Bumi Capai Suhu Tertinggi Dalam 20 Tahun Terakhir

Nasa Temukan Penyebab Termosfer Bumi Capai Suhu Tertinggi Dalam 20 Tahun Terakhir
Illustrasi. Tampilan Termosfer bumi yang semarak selama badai geomagnetik. (Foto: Shutterstock)

JAKARTA - Forumpublik.com | Lapisan Termosfer bumi baru-baru ini mencapai puncak temperatur tertinggi dalam sejarah, yang hampir 20 tahun setelah menyerap energi dari badai geomagnetik yang menghantam Bumi tahun ini.

Suhu di lapisan atmosfer tertinggi kedua kemungkinan akan terus meningkat selama beberapa tahun ke depan karena aktivitas matahari meningkat, yang dapat berdampak pada satelit yang mengorbit Bumi, para ahli memperingatkan.

Melansir dari situs resmi Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), termosfer memanjang dari bagian atas mesosfer, sekitar 53 mil (85 kilometer) di atas tanah, ke bagian bawah eksosfer, yang dimulai sekitar 372 mil (600 km) di atas tanah. Di luar eksosfer adalah luar angkasa.

Selama lebih dari 21 tahun, NASA telah mengukur suhu termosfer melalui radiasi infra merah yang dipancarkan oleh molekul karbon dioksida dan nitrit oksida.

Sehingga para ilmuwan mengonversi data yang dikumpulkan oleh satelit Termosfer, Lonosfer, Mesosfer, Energetika, dan Dinamika (TIMED) NASA, menjadi Indeks Iklim Termosfer (TCI), yang diukur dalam terawatts, atau TW. (1 TW sama dengan 1 triliun watt.)

"Nilai TCI, yang melonjak pada 10 Maret, memuncak pada 0,24 TW. Terakhir kali TCI setinggi ini adalah 28 Desember 2003," kata Martin Mlynczak, seorang peneliti terkemuka pada misi TIMED di Pusat Penelitian Langley NASA di Virginia dan pencipta TCI, kepada Live Science.

Lonjakan meningkatnya temperatur suhu disebabkan oleh tiga badai geomagnetik pada bulan Januari dan Februari. Gangguan besar pada medan magnet bumi yang dipicu oleh potongan plasma magnet yang bergerak cepat, yang dikenal sebagai coronal mass ejections (CMEs), dan lebih jarang oleh aliran partikel bermuatan tinggi, dikenal sebagai angin matahari, yang keduanya dimuntahkan oleh matahari.

"Badai' ini menyimpan energinya di termosfer dan menyebabkannya memanas, peningkatan hasil pemanasan dalam peningkatan tingkat emisi inframerah dari oksida nitrat dan karbon dioksida di termosfer," kata Mlynczak.

Baca : Langkah Lanjutan Kominfo Usai Peluncuran Satelit Republik Indonesia

Mlynczak mengatakan, biasanya emisi infra merah setelah badai mendinginkan termosfer, tambahnya, tetapi ketika badai datang kembali suhunya tetap tinggi.

Sejak lonjakan tersebut, setidaknya dua badai geomagnetik lagi telah menghantam planet kita.

"Pertama, pada 24 Maret, yang merupakan badai matahari terkuat yang menghantam Bumi selama lebih dari enam tahun, dan kedua badai lain yang sama kuatnya pada 24 April. Nilai TCI mengikuti ini badai tetap tinggi tetapi belum melewati puncak Maret," ucap Mlynczak.

Ia menjelaskan, badai geomagnetik menjadi lebih sering dan intens selama maksimum matahari, bagian dari siklus matahari kira-kira 11 tahun di mana matahari paling aktif dan ditutupi bintik matahari gelap dan loop plasma yang memuntahkan CME dan angin matahari.

"Akibatnya, termosfer Bumi juga mengikuti siklus kira-kira 11 tahun," kata Mlynczak.

Ilmuwan pemerintah dari NASA dan NOAA memperkirakan matahari maksimum berikutnya akan tiba pada tahun 2025, yang berarti tren pemanasan kemungkinan akan berlanjut selama beberapa tahun ke depan.

"Perubahan termosfer dapat menimbulkan tantangan bagi satelit di orbit rendah Bumi yang diposisikan di sekitar batas atas termosfer," ucapnya.

Mlynczak juga mengatakan, termosfer mengembang saat menghangat, sehingga menghasilkan "peningkatan hambatan aerodinamis pada semua satelit dan puing-puing ruang angkasa.

"Peningkatan tarikan ini dapat menarik satelit lebih dekat ke Bumi, katanya, yang dapat menyebabkan satelit saling bertabrakan atau benar-benar jatuh dari orbit, seperti yang dilakukan satelit SpaceX Starlink pada Februari 2022 setelah badai geomagnetik yang mengejutkan," ucap Mlynczak.

Operator satelit dapat menghindari masalah ini dengan memposisikan pesawat ruang angkasa mereka di orbit yang lebih tinggi bila diperlukan, tetapi cuaca luar angkasa yang tidak dapat diprediksi membuat sulit untuk mengetahui kapan manuver ini diperlukan hingga sering terlambat.

Sebuah studi baru-baru ini yang diterbitkan 30 Januari dalam jurnal Frontiers in Astronomy and Space Sciences menunjukkan bahwa puncak aktivitas matahari dapat tiba paling cepat akhir 2023 dan menjadi lebih kuat dari perkiraan semula.

Jika skenario ini berjalan, maka risiko bencana satelit semakin meningkat. Maksimum matahari juga bisa tiba lebih cepat dari yang diperkirakan.

Namun, studi 8 Mei di jurnal Earth Atmospheric and Planetary Sciences menemukan, dalam rentang waktu yang lebih lama, suhu di termosfer menurun.

Hal ini dikarenakan kelebihan CO2 di termosfer akibat perubahan iklim meningkatkan emisi infra merah ke luar angkasa.

Baca juga:
Berikut Komitmen Pemerintah Perbaiki Tata Kelola Industri Kelapa Sawit
Luhut Uji Coba Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Kecepatan Maksimum 385 Km/Jam
Terbesar Se-Asia Tenggara, Presiden Resmikan "Groundbreaking" Pabrik Foil Tembaga di Gresik
Ahli Temukan Cara Memperbesar Memori Otak
Tim Keamanan Digital Google: Hp Samsung dan Vivo Chip Exynos Rawan Diretas

Tonang S
Editor: Rianto

0 comments:

Post a Comment