Menko Polhukam Jawab atas Hoax dan Provokasi Soal Keadaan Papua

Menko Polhukam Jawab atas Hoax dan Provokasi Soal Keadaan Papua
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menjawab beberapa pertanyaan mengenai berita bohong dan provokasi tentang keadaan Papua dan Papua Barat pada saat konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (03/09/19). (Poto: Biro Hukum Polhukam RI)

Jakarta, Forumpublik.com -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menjawab beberapa pertanyaan mengenai berita bohong dan provokasi tentang keadaan Papua dan Papua Barat. Ada lima hal yang disampaikan Menko Polhukam.

“Pertama saya bicara masalah tuduhan adanya pelanggaran HAM yang luar biasa, termasuk pelanggaran HAM berat di sana yang tidak terselesaikan, sehingga seakan-akan pemerintah enggan atau tidak mau menyelesaikan penyelesaian pelanggaran HAM berat di Papua dan Papua Barat,” ujar Menko Polhukam Wiranto pada saat konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (03/09/19).

Namun, kata Menko Polhukam, bukan begitu duduk permasalahnya. Menurutnya, bukan karena pemerintah tidak mau menyelesaikan tapi karena ada hal-hal teknis hukum atau aturan main di bidang hukum yang tidak bisa dipenuhi.

Dari data yang diterima, ada keinginan untuk menginvestigasi terhadap 12 kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Papua. Tapi setelah disortir ternyata tidak semua kasus yang 12 itu merupakan pelanggaran HAM berat, namun di sisihkan yang lain masalah kriminal dan itu sudah diselesaikan melalui jalur-jalur hukum pidana, KUHP oleh Kepolisian dan Kejaksaan.

“Tinggal sekarang direkomendasikan tiga kasus yang terindikasi pelanggaran HAM berat yaitu Wasior tahun 2001, Wamena tahun 2003 dan Paniai tahun 2014, dan sudah terjadi satu kerja sama antara Komnas HAM dan Jaksa Agung,” katanya.

Menko Polhukam menjelaskan, pelanggaran HAM berat memiliki syarat yaitu harus ada satu proses penyelidikan dan penyidikan awal untuk masuk ke Kejaksaan, di mana syarat-syarat penyidikan hasilnya harus dapat memenuhi persyaratan bahwa betul-betul ada pelanggaran HAM berat dan mempunyai bukti yang cukup untuk ditindaklanjuti. Namun masalahnya sekarang adalah antara Komnas HAM dan Jaksa Agung masih belum klop, apa yang sudah ditemukan Komnas HAM diserahkan ke Kejaksaan ternyata dicek, dipelajari, dianalisis belum memenuhi untuk dapat diteruskan dalam proses-proses pengadilan sehingga dikembalikan lagi.

“Misalnya satu perstiwa yang mencari alat buktinya harus melakukan otopsi jenazah, namun begitu mau diotopsi untuk mendapatkan bukti keluarga di sana tidak mau, sehingga tidak bisa dibedah dan tidak ada kelengkapan bukti, sehingga terhambat,” kata Menko Polhukam Wiranto.

Sedangkan untuk yang lain-lain sudah mulai diselesaikan, misalnya kasus Wasior dan Wamena ini sudah ada koordinasi Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung , terus berlanjut melengkapi secara formal dan material untuk dapat melanjutkan pada proses peradilan. Untuk Wasior, Mahkamah Militer Tinggi II tahun 2003 telah mengadili 8 anggota Polri yang sudah berkekuatan hukum tetap. Catatan di sini, pada tahun 2003 itu peradilan untuk anggota Polri masih masuk peradilan hukum militer, padahal sudah diselesaikan satu kasus lewat satu proses hukum dan peradilan tidak bisa dihukum dua kali.

“Hal-hal seperti ini yang mengisyaratkan bahwa bukan karena pemerintah enggan menyelesaikan, malas menyelesaikan atau tidak mau menyelesaikan, tapi ada hal-hal teknis. Ini yang terus digembar gemborkan bahwa pelanggaran HAM di sana tidak pernah diselesaikan dan ini perlu dialog, apakah terus kita genjot lewat yudisial atau lewat non yudisial. Kita kan punya lembaga adat yang dapat menyelesaikan masalah-masalah ini dengan cara kekeluargaan, bahkan di Papua dan Papua Barat ada istilah bakar batu, antar suku kalau ada perang dan terbunuh ada acara adat bakar batu, selesai. Ini salah satu budaya yang tentu bisa kita gunakan untuk jalur penyelesaian non yudisial,” kata Menko Polhukam Wiranto.

Kemudian untuk keadilan pembangunan di Papua. Menko Polhukam mengatakan jika ia kerap mendapatkan informasi dari dalam dan luar negeri kemudian terus dilansir oleh pihak-pihak yang ingin mendiskreditkan pemerintah atau mendeligitmasi pemerintah bahwa seakan-akan pemerintah tidak adil terhadap provinsi Papua dan Papua Barat dalam konteks pembangunan nasional, sehingga diharapkan ada kekecewaan, ada ketidaksenangan dari masyarakat Papua dan Papua Barat.

Menko Polhukam menyampaikan bahwa sejak Presiden Joko Widodo diangkat menjadi presiden salah satu orientasinya ialah bagaimana membangun daerah pinggiran, termasuk membangun Papua dan Papua Barat. Menurutnya, hal ini bukan hanya ngomong, bukan hanya rencana tapi sudah dibuktikan selama 4 tahun lebih ini. Misalnya kunjungan Presiden yang sangat sering ke sana lebih dari 10 kali untuk meninjau sendiri rencana pembangunan infrastruktur, rencana pembangunan fasilitas-fasilitas kesejahteraan masyarakat, kesehatan, pendidikan, membangun pos lintas batas yang megah.

“Jika bicara indeks pembangunan manusia, Papua dan Papua Barat dari 58,05 pada tahun 2016 sudah menjadi 60,06 pada tahun 2018, ada kenaikan indeks pembangunan manusia. Berarti, masalah kesehatan, masalah pendidikan, kesejahteraan dan lain sebagainya. Kemudian, Papua Barat kenaikannya dari 62,21 di tahun 2016 menjadi 63,74 di tahun 2018, ada kenaikan di sana,” kata Menko Polhukam Wiranto.

Untuk pembangunan di bidang pendidikan misalnya, SD di awal berlakunya Otonomi Khusus atau sebelum pemekaran provinsi ada 2407 unit dan pada tahun 2018 menjadi 2321 unit di Papua, sedangkan di Papua Barat ada 1038. Artinya mengalami kenaikan 40% untuk gedung SD.

Sementara pembangunan gedung SMP dan SMA di awal berlakunya otsus atau sebelum pemekaran, ada 513 unit, dan pada tahunn 2018 menjadi 981 di Papua dan 468 di Papua Barat, atau mengalami kenaikan pembangunan SMP/SMA 182%. Begitu juga dengan Perguruan Tinggi sama. Pada awal Otsus berarti sebelum pemekaran terdapat 1 perguruan tinggi negeri dan 11 perguruan tinggi swasta dan di tahun 2018 menjadi 4 perguruan tinggi negeri dan 21 perguruan tinggi wasta. “Ini mengalami kenaikan hampir 200 persen,” kata Menko Polhukam Wiranto.

Dari kesehatan, RS awal berlakunya Otsus (sebelum pemekaran) jumlahnya hanya 12 rumah sakit. Di tahun 2018 menjadi 36 rumah sakit di Papua dan 16 rumah sakit di Papua Barat, berarti jumlahnya sekitar 52, sehingga mengalami kenaikan 300%. Sedangkan Puskesmas di awal berlakunya otsus jumlahnya 216, dan di tahun 2018 menjadi 868 di provinsi Papua dan 177 di Papua Barat, kenaikannya hampir 400%.

“Jadi ada satu bukti nyata bahwa pemerintah betul-betul mencoba untuk melakukan akselerasi pembangunan di semua bidang. Belum lagi untuk pembangunan-pembangunan yang lain, jalan-jalan antar kota, pelabuhan-pelabuhan, harga-harga disamakan. Ini semua sudah bisa membantah bahwa pemerintah cukup berlaku adil bahkan sangat adil, karena khusus Papua dan Papua Barat dana yang digelontorkan ini cukup besar. Misalnya saja tercatat bahwa untuk tahun lalu digelontorkan kurang lebih dana itu sekitar Rp 92 triliun, sedangkan dana daerah yang tersedot ke pusat kurang lebih hanya Rp 26 triliun. Sehingga ada subsidi dari pemerintah untuk pembangunan Papua,” kata Menko Polhukam Wiranto.

Dalam kesempatan itu, Menko Polhukam juga menjelaskan mengenai anarkis di Provinsi Papua dan Papua Barat. Menurutnya, hal seperti ini tidak hanya terjadi sekarang, tapi sejak dulu juga pernah terjadi. Misalnya, unjuk rasa di Biak Numfor tahun 1998, penyerangan Polsek Abepura tahun 2000, unjuk rasa di Wasior 2001, kerusuhan pasca meninggalnya Theys Elluai tahun 2001, pembobolan gudang senjata Kodim Wamena 2003, unjuk rasa Uncen Abepura tahun 2006, Kongres Rakyat Papua III 2011, Paniai 2014, dan sekarang.

“Oleh karena itu, dengan peristiwa sekarang ini Presiden sudah mewanti-wanto ayo sabar, dialog, bukan dengan demo, bukan dengan bakar-bakar, dialog dengan hati. Ini semuanya kita lemparkan ke masyarakat agar kita semua tidak mengulangi masa lalu sebagai pelajaran kita, yang rugi juga rakyat, pemerintah, dan kita semua,” kata Menko Polhukam Wiranto.

Berikutnya tentang masalah yang menyangkut referendum. Menko Polhukam mengatakan, banyak informasi tentang referendum atau tuntuan tentang keinginan memisahkan diri atau merdeka dari pihak-pihak yang memang tidak menyadari atau barangkali tidak tahu apa yang terjadi selama ini. Dijelaskan, kalau bicara referendum, maka sebenarnya hukum internasional sudah tidak ada lagi tempat atau tidak relevan lagi untuk Papua dan Papua Barat disuarakan referendum. Sebab dalam hukum internasional, referendum itu bukan untuk wilayah yang sudah merdeka, tapi wilayah yang non governing territory, seperti misalnya Timor Timur dulu yang merupakan provinsi seberang lautan dari Portugis di PBB, bukan wilayah Indonesia.

“Tapi Papua dan Papua Barat itu sudah pernah referendum di tahun 1969, itu sesuai prinsip-prinsip PBB sudah dilaksanakan satu jajak pendapat, didukung oleh sebagian besar angota PBB, muncul resolusi 25/24 yang sah bahwa Papua dan Papua Barat waktu itu Irian Barat sah sebagai wilayah Republik Indonesia, NKRI, bulat, sah dan didukung oleh banyak negara melalui keputusan PBB. Resolusi PBB tidak bisa bolak balik ditinjau lagi, ganti lagi, tidak bisa, sehingga jalan untuk ke sana sebenarnya tidak ada lagi,” kata Menko Polhukam Wiranto.

Kemudian kalau berbicara karena hak-hak dasar masyarakat Papua tidak dipenuh, masalah hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya, merasa dikebiri oleh pemerintah misalnya, itupun tidak benar karena dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2002 tentang Otonomi Khusus, sebenarnya hak-hak dasar itu sudah diberikan dan diatur oleh Pemerintah Daerah di sana dengan tetap mengacu hukum UU yang ada di Indonesia.

“Jadi tidak ada seperti berita yang disampaikan Benny Wenda di luar negeri, Indonesia itu mengebiri hak-hak rakyat Papua dan Papua Barat, setiap hari ada pembunuhan, setiap hari ada pelanggaran HAM, tidak ada pembangunan di sana, dianak tirikan, itu semua tidak benar, jangan kita terkecoh dengan hal semacam itu. Saya sampaikan bahwa wacana self determination, rencana untuk merdeka, untuk referendum, hukum intrnasional sudah tertutup dan hukum nasional kita juga sudah final, jadi tidak ada pembicaraan seperti itu,” kata Menko Polhukam Wiranto.

Terakhir mengenai pembatasan media sosial. Menurut Menko Polhukam, pelemotan atau pembatasan internet ini merupakan reaksi dari satu kondisi yang terjadi dan dapat membahayakan keamanan nasional karena banyak yang campur tangan dan menggunakan kesempatan untuk ikut-ikutan, serta mengacaukan keadaan itu dengan alat media sosial atau internet. Menurutnya, pada saat masyarakat melihat banyaknya hoax, hasutan, dan tone negative tentang apa yang terjadi di sana, maka akan menambah keadaan menjadi kacau sehingga sulit bagi aparat keamanan untuk menstabilkan daerah itu. Oleh karena itu, sesuai dengan UU yang ada sebagian daerah dibatasi jaringan internetnya.

“Kapan ini dicabut? Kalau ada laporan di sana sudah kondusif, sudah berkurang hasutan, hoax, detik itu juga kita akan cabut. Tadi saya sudah koordinasi dengan Panglima, Kapolri dan Kabin yang melihat itu, saya tadi minta sekarang dicabut gimana nih? Dengan dasar-dasar bahwa hoax sudah berkurang, hasutan-hasutan sudah hampir tidak ada, tone nya sudah positif, negative 10 persen dan yang positif 90. Kondisi daerahkan sudah stabil, tetapi dari informasi yang kita dapat, dari analisis prediksi keamanan, kita masih mohon waktu sebentar. Tanggal 5 nanti kalau keadaan betul2 kondusif kita buka kembali internet,” kata Menko Polhukam Wiranto.

Lihat juga:

(Fp/Biro Hukum Polhukam RI)

0 comments:

Post a Comment