Ia mengatakan untuk perkara nomor 376/Pid.Sus-LH/2025/PN Btm, terdakwa Ahui, majelis hakim memiliki pertimbangan memberikan vonis dibawah dari ancaman minimal.
"Pastinya hakim memiliki pertimbangan, sehingga memberikan vonis 10 Bulan dibawah dari ancaman minimal," kata Wattimena pada saat ditemui media ini, di PN Batam, Kamis (13/11/2025).
Ia juga mengatakan, hal itu tidak menyalahi aturan hukum, sebab hakim memiliki pertimbangan tersendiri.
"Jadi kalau dibilang menyalahi, saya pikir tidak. Karena, jangankan dia putus 10 bulan, dia putus tidak terbuktipun bisa, bebaspun bisa, kalau dia punya pertimbangan," ujarnya.
Menurutnya, apapun bentuk putusan itu pasti kita pahami bahwa hakim diberikan kewenangan untuk menjatuhkan putusan.
"Jadi kita tidak bisa diintervensi dari pihak manapun, sepanjang putusan itu dia bertanggungjawab, karena ada pertimbangan-pertimbangan dia dalam memberikan putusan," katanya.
Ia meyakini putusan itu, hakim memiliki pertimbangan-pertimbangan khusus didalam perkara tersebut.
"Putusan itu bukan tidak jadi masalah, memang tidak masalah, dalam konteks itu kewenangan majelis hakim, dia punya kewenangan penuh, artinya pasti dalam putusan itu dia memiliki pertimbangan-pertimbangan khusus didalam perkara itu," ucapnya.
Terkait subsider satu bulan penjara dari denda 1 miliar, hal itu adalah kembali menjadi kewenangan hakim.
"Hal itu juga kewenangan hakim, kita tidak bisa intervensi. Yang mana putusan itu sudah mutlak. Putusan itu juga belum inkrah, kita tunggu saja putusan itu dari proses banding," katanya.
Sebelumnya, Ketua majelis hakim, Tiwik, dalam sidang menyatakan terdakwa Ahui terbukti bersalah melanggar Pasal 99 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Junaidi alias Ahui dengan hukuman penjara 10 bulan dan denda Rp 1 miliar," ujar hakim Tiwik dalam persidangan, saat pembacaan putusan di PN Batam pada Senin (13/10/2025), mengutip SIPP PN Batam, Selasa (11/11/2025).
Majelis hakim juga memutuskan mengembalikan 50 karung arang kepada terdakwa. Sementara lahan dan bangunan gudang di kawasan mangrove Sembulang dikembalikan kepada Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) untuk dibongkar.
Usai sidang, baik Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun penasihat hukum terdakwa menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut.
"Kami akan mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya," kata JPU Kejaksaan Negeri (Kejari) Arfian.
Adapun putusan ini, adalah putusan dibawah ancaman minimal dari sanksi Pasal 99 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
"Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 dan paling banyak Rp3.000.000.000,00," bunyi Pasal 99 Ayat (1) UU tersebut.
Putusan ini juga lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut 1 tahun 5 bulan penjara.
Baca juga:
Grebek Gudang Balpres, 25 Pekerja dan Sejumlah Kendaraan Diamankan Polresta Barelang
Dituntut 6 Bulan Penjara, Hakim PN Batam Tunda Vonis Terdakwa Agnes Dwirifa Kasus PMI Hingga 12 November 2025
Mencurigakan, Data di SIPP PN Batam 'Rusak' Khusus Perkara Terdakwa Touzen, Pemilik Minilab Narkoba
Dihukum 11.196 Tahun Penjara, CEO Bursa Kripto Ditemukan Tewas Gantung Diri
Warga Khawatirkan Dampak Banjir Akibat Dugaan Cut and Fill Ilegal di Dekat Taman Raya
Baca berita lainnya di Indeks News
@redaksi/
